BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 18 Februari 2011

Wanita Yang Indah

Aduhai wanita... Sungguh mahal dirimu di mata lelaki, tetapi mengapa masih ada lagi yang tidak menyedari? Dirimu sungguh agung di mata lelaki dan terlalu mulia di sisi Penciptamu. Namun itu semua hanya jika kau tahu mengagungkan dan memuliakan dirimu sendiri.
Menjadi wanita adalah satu anugerah yang paling indah. Seharum mana pun wangian kasturi tidak mampu menandingi wangian budi pekertimu, lembutnya gumpalan kapas masih tewas dek kelembutan tingkahmu. Halusnya butiran pasir yang menjadi peneman setia si pantai masih tidak dapat menandingi halusnya tuturmu.
Duhai wanita... Sebenarnya maruah diri yang kau galas lebih berat daripada bongkah-bongkah batu yang besar. Kau menepis dengan penuh sabar setiap godaan nafsu dunia yang datang bertubi-tubi hingga hampir mengheretmu ke kancah yang penuh onak duri. Percayalah wanita, akan ada bahagia di akhir kesengsaraanmu asal saja kesabaran menjadi bentengmu.
Wanita ku... Terima sahaja cemuhan dan makian yang muncul bederu -deru ibarat halilintar yang singgah di cupingmu, terima saja itu dengan senyuman dan ambil saja sebagai halwa telinga yang mengajarkan mu erti kesabaran. Itu sebenarnya dendangan sumbang dari bibir-bibir sumbing yang ingin melihat mu tersungkur. Percayalah akan ada berita manis yang singgah dicupingmu suatu masa nanti asal saja gunung kesabaranmu tidak pernah kau tarah.
Saudara wanitaku, iman mu adalah perisai, agamamu adalah landasanmu di setiap langkah yang kau atur. Jangan sesekali kau biarkan anasir songsang memperkotak-katikkan imanmu apatah lagi agama yang kau kandung hanya kerana nikmat duniawi semata-mata. Jangan kau gadaikan maruahmu yang tidak ada galang gantinya hanya kerana mengejar sesuatu yang tidak mungkin bisa kau kendong.
Andai kata kau tersungkur, segeralah bangkit dan sekiranya kau tersasar jauh dari landasan hidupmu, atur kembali langkahmu bersama titipan iman dan mulakan dengan langkah yang baru. Sedangkan Sang Jentayu yang kepatahan sayapnya masih bisa hidup bertongkat paruh apatah lagi kau yang dianugerahkan akal fikiran. Jangan bersedih wahai wanita, andai apa yang kau ingini tidak kau beroleh di dunia, percayalah syurga itu sentiasa menantimu.
Bulatnya iman dan taqwa Sumaiyah ketika dihunuskan tombak ditubuhnya, demikian jugalah bulat imanmu harus kepada Penciptamu. Peganglah kata kata ini, "Kau sebenarnya tidak akan tersasar seandainya keimananmu kau jadikan sebagai tunjang dalam kehidupan".
Wanita, biar tawadukmu lebih menggungung daripada kejelitaanmu, biar keayuanmu terpancar dek kerana lemah gemalainya perilaku. Biar kebijaksanaanmu terpampang oleh tingginya ilmumu. Jangan sesaat pun kau lupa setianya Masyitah pada Tuhannya, agungnya kasih Khadijah kepada agamanya dan perjuangan srikandi-srikandi agama terdahulu.
Jadikan agamamu sebagai tunjang yang memperkasakan akidahmu.Biar kesabaranmu menjadi benteng perjuanganmu dan lebarkan imanmu dengan sejuta lapis sifat mahmudah. Jadilah kita wanita paling bahagia.

Rabu, 16 Februari 2011

Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita ?

Kehancuran sebuah rumah tangga karena salah satu di antara suami atau istri berbuat selingkuh, rasanya telah menjadi berita yang amat biasa. Bukan hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga banyak terjadi di rumah tangga sekitar kita. Fenomena ini merupakan secuil dari petaka yang muncul karena wanita muslimah tergoda dengan slogan-slogan emansipasi

Ibarat sebuah permata yang sangat berharga, ditempatkan di tempat yang bagus, yang tak gampang terjamah. Itulah wanita dalam Islam. Bukan sekedar omong kosong bila kita katakan bahwa wanita benar-benar mendapatkan kemuliaannya dalam Islam. Pembicaraan tentang hal ini telah kita lewati dalam edisi yang lalu. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau menoleh kepada perlakuan istimewa dari agama yang mulia ini, sehingga mereka menengok ke Barat, ingin beroleh konsep bagaimana mengangkat harkat dan martabat wanita ala Barat.


Orang-orang seperti ini biasanya sudah tertular penyakit minder jadi orang Islam. Atau lebih parahnya, fobi bahkan anti terhadap semua yang berbau Islam namun kagum kepada semua yang datang dari Barat, walaupun itu adalah kesesatan yang dipoles dengan bungkus warna-warni. Timbullah kekaguman mereka kepada wanita-wanita di Barat yang bebas berkeliaran mengejar karir di luar rumah sebagaimana lelaki. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lelaki. Diteriakkanlah kepada para wanita agar meniru wanita-wanita Barat, hingga tampaklah akibatnya yang mengerikan ketika gayung bersambut.



Dan hari ini maupun hari-hari sebelumnya, kita telah melihat hasil teriakan tersebut…

Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi.

Kalau dulu, para lelaki baik itu ayah, kakek, suami, paman, ataupun saudara laki-laki, demikian cemburu dengan wanitanya bila sampai terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, namun kita dapati pada hari ini, di zaman kemajuan ini, rasa cemburu sudah ketinggalan kereta. Tak ada lagi tempat untuknya, bukan zamannya lagi. Ayah, suami, paman dan saudara laki-laki membukakan pintu rumah selebar-lebarnya bagi si wanita untuk mengepakkan sayap kebebasan, menurut mereka.


Para lelaki tak lagi cemburu, sementara si wanita tak lagi memiliki rasa malu. Lalu, diayunkannya langkahnya sampai melampaui pagar ‘istana’nya. Selanjutnya dapat kita duga kerusakan apa yang bakal terjadi bila jalan-jalan dan tempat-tempat di luar rumah dipenuhi wanita, bercampur baur dengan lelaki. Ini semua akibat kebodohan dan jauhnya mereka dari agama, kemudian akibat termakan emansipasi.


Apa itu Emansipasi?

 Kami tak bermaksud berbicara panjang lebar tentang emansipasi, karena materi ini akan dibahas secara meluas di majalah kesayangan kita ini dalam edisi-edisi mendatang, Insya Allah. Namun tidak mengapa, kami sedikit menyentil permasalahan ini karena berkaitan dengan pembahasan kami di rubrik ini dalam edisi yang telah lalu.


Kalau ada yang bertanya, apa itu emansipasi? Maka secara praktis kita katakan bahwa yang dimaukan dengan emansipasi oleh para penyerunya adalah upaya mempersamakan wanita dengan lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik secara intelektual maupun fisik.


Emansipasi dipandang sebagai kemajuan bagi kaum wanita, yang berarti kebebasan bagi wanita untuk melakukan apa saja yang diinginkan dan menjalani profesi apa saja. Bukan lagi pemandangan aneh bila kita dapati seorang wanita menjadi sopir truk, kondektur, kuli bangunan, tukang parkir, satpam…. Jangan heran bila wanita bisa menjadi perdana menteri, pilot, jenderal bahkan presiden. Walhasil, kalau lelaki bisa unjuk otak dan ototnya dalam segala lapangan penghidupan maka wanita pun dituntut harus bisa dan harus diberi porsi yang sama. Kalau tidak seperti itu, berarti merendahkan wanita dan menginjak hak asasinya!!! Demikian lolongan mereka.


Sesuai atau tidak defenisi emansipasi yang disebutkan di sini dengan defenisi palsu yang mereka –kaum feminis– berikan, tidaklah jadi soal. Yang penting demikianlah kenyataan praktik emansipasi di masyarakat kita. Wallahu a’lam.



Kapan Muncul Emansipasi?
Tidak terlalu penting untuk kita sebutkan di sini kapan gerakan emansipasi ini muncul untuk pertama kalinya. Yang jelas, gerakan ini pertama kali berbentuk slogan pendidikan akademis bagi kaum wanita. Slogan-slogan itu pada awalnya nampak menarik karena mengusahakan peningkatan kecerdasan dan pengetahuan kaum wanita, agar dapat melahirkan generasi baru yang lebih cakap dan lebih berkualitas.


Tetapi, di kemudian hari setelah tercapainya tujuan pertama, gerakan ini mulai melakukan tipu daya baru yang tentu saja dibungkus dengan kata-kata indah nan menawan, yakni persamaan hak pria dan wanita secara mutlak dan kebebasan karir wanita di segala bidang.


Dengan iming-iming yang menarik ini, tak pelak lagi banyak kaum hawa yang tertipu dan terbawa arus gelombang emansipasi. Bahkan hembusan emansipasi seolah angin sejuk bagi masa depan mereka.


Terlahir di negeri Eropa Barat, emanisipasi jelas mewakili pemikiran bangsa yang sangat jauh dari tuntunan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Bahkan mereka adalah budak-budak hawa nafsu, kesyirikan, dan kekufuran. Kaum wanita dalam masyarakat penyembah salib tersebut sama sekali tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya. Mereka diibaratkan barang yang dapat diperjualbelikan di pasaran, dianggap sebagai sampah dan budak pemuas hawa nafsu.


Para pemuka agama mereka bahkan menyimpulkan bahwa wanita adalah makhluk pembawa kejahatan, musuh keselamatan, penunggu neraka, semata-mata dicipta untuk melayani lelaki, dianggap sejenis hewan yang harus dipukul, dan merupakan tangan dari tangan-tangan setan. Dan masih banyak lagi sebutan dan gelar-gelar jelek yang mereka berikan kepada kaum wanita. Dalam kenyataan buruk seperti itulah dihembuskan ‘angin segar’ emansipasi, agar wanita terlepas dari perbudakan dan perlakuan buruk kaum lelaki. Agar wanita mendapatkan hak asasinya sebagai manusia yang selama ini telah diinjak-injak oleh lelaki.


Bila demikian kenyataan yang melatarbelakangi lahirnya emansipasi, apakah pantas wanita muslimah ikut-ikutan menjayakan gerakan ini sementara ia telah dimuliakan dalam Islam, diberikan perlindungan dan kedudukan mulia? Sungguh kebodohan telah meracuninya. Andai ia tahu kemuliaan yang diberikan Islam padanya…. Kemuliaan yang membuat iri wanita-wanita Barat !!!.



Racun Emansipasi

 Propaganda yang laris manis ini banyak menebarkan racun di tengah masyarakat. Kaum wanita berbondong-bondong menyerbu tiap bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan. Tak peduli apakah hal itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Akibatnya, jumlah pengangguran di kalangan lelaki meningkat karena lapangan pekerjaannya telah direbut oleh wanita.


Dewasa ini tak jarang wanita memasuki bidang-bidang yang ‘berotot’, yang tentunya standar yang dipakai adalah standar yang biasa berlaku pada kaum lelaki, karena memang demikian kebutuhannya. Wanita yang masuk ke bidang ini berarti harus menyesuaikan diri dengan standar yang ada, sementara wanita diciptakan dengan struktur tubuh yang berbeda dengan lelaki. Lalu pekerjaan apa yang dapat diselesaikannya dengan baik?


Sementara itu, di tempat kerjanya wanita tidak jarang menjadi korban pelecehan -lisan maupun tindakan- dari lawan jenisnya, baik dari rekan kerja ataupun atasannya. Nilai wanita jadi begitu rendah, tak lebih sebagai obyek dari pandangan mata-mata nakal. Kehadirannya di tempat kerja tak jarang hanya sebagai ‘penyegar’ suasana.


Kemerosotan akhlak terjadi di kalangan masyarakat dengan lepasnya wanita dari rumahnya. Lelaki jadi terfitnah[1] dengan bebasnya wanita berkeliaran di sekitarnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya): “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Wanita dan lelaki bebas bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya pemisah (ikhtilath). Padahal Islam telah melarang hal ini karena ikhtilath merupakan pintu yang mengantarkan pada perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan pada perbuatan zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan (yang artinya): “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (Al-Isra’: 32)


Gejala lain yang kini terlihat di kalangan mereka yang menjadi korban emansipasi adalah sepinya ikatan pernikahan. Wanita yang sibuk dengan karirnya lebih suka hidup sendiri daripada harus terikat dengan tanggung jawab mengurus suami, rumah dan anak. Terkadang si wanita lebih memilih hidup bebas, dan bergaul dengan lelaki mana saja yang ia inginkan. Na’udzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal itu).


Tuntutan agar wanita meraih pendidikan formal yang tinggi ternyata mengharuskan si wanita mempraktikkan ilmunya di lapangan, walau ia harus meninggalkan suami, anak, dan rumahnya. Karena tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, semangat cinta kehidupan dunia berikut perhiasannya semakin meninggi, akhirnya para wanita merasa harus bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Timbullah dilema antara mengurus rumah tangga dengan kepentingan pekerjaannya. Tak jarang mereka menyisihkan urusan rumah tangga. “Bisa diserahkan kepada pembantu,” kata mereka.


Saat ini, terlalu banyak kita dapati anak-anak yang dibesarkan oleh pembantunya, sementara ibunya hanya menjadi pengawas dari jauh. Berbagai masalah timbul karenanya. Anak-anak menjadi nakal karena kurang perhatian. Mereka lari keluar rumah untuk mencari kompensasi, mengais-ngais kasih sayang yang mungkin masih tersisa.


Rumah tangga terbengkalai, suami pun menyeleweng. Si wanita itu sendiri mendapatkan godaan dari kawan sekerja yang lebih tampan menawan daripada suami di rumah. Akibatnya si wanita pun terdorong untuk berbuat serong. Dan akhirnya…. pernikahan berakhir dengan perceraian. Tinggallah anak-anak sebagai korbannya.


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)


Sebenarnya terlalu banyak dampak emansipasi untuk disebutkan di sini. Cukuplah apa yang telah kami sebutkan sebagai contoh. Yang perlu diingat oleh setiap wanita, bahwa emansipasi sama sekali bukanlah solusi untuk mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap dirinya. Karena emansipasi yang lebih dahulu telah diperjuangkan oleh wanita Barat hanya menghasilkan penderitaan yang lebih parah bagi kaum wanita.


Setelah tercapai apa yang menjadi tujuan ternyata timbul akibat yang buruk bagi individu, masyarakat dan generasi penerus. Dilanggarnya tuntunan Islam tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicampakkannya hijab, dibuangnya rasa malu, lahirnya anak yang tak diketahui siapa orang tuanya, perpecahan keluarga, mudahnya kawin cerai, kebebasan hubungan lelaki dan wanita, dan sebagainya menjadikan kehidupan para pelaku serta korban emansipasi dipenuhi stres dan depresi. Wallahul musta’an.


Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari akibat yang diperbuat oleh orang-orang yang jahil dan zalim di antara kita.


Bila sudah seperti ini keadaannya, tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali kembali kepada ajaran Islam yang benar. Kembali kepada tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.


Kembalilah engkau wahai wanita kepada fitrahmu! Lihatlah bagaimana Islam telah memuliakanmu! Pegangilah apa yang diajarkan Nabimu, niscaya kebahagiaan di dua negeri akan kau raih.

Wallahu a’lam.

Selasa, 15 Februari 2011

Istri yang Menyejukkan Hati

Sebaris kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seorang istri yang ingin menjadi perhiasan terindah dunia dan bidadarinya akhirat yaitu wanita shalihah. Semoga melalui kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seseorang yang mendambakan keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diridhai oleh Allah... ‘Azza wa jalla


“Ketika aku menikahi Zainab binti Hudair aku berkata dalam hati: Aku telah menikah dengan seorang wanita Arab yang paling keras dan paling kaku tabiatnya. Aku teringat tabiat wanita-wanita bani Tamim dan kerasnya hati mereka. Aku berkeinginan untuk menceraikannya. Kemudian aku berkata (dalam hati): “Aku pergauli dulu (yaitu menikah dan berhubungan dengannya), jika aku dapati apa yang aku suka, aku tahan ia. Dan jika tidak, aku ceraikan ia.”


Kemudian datanglah wanita-wanita bani Tamim mengantarkannya. Dan setelah ditempatkan dalam rumah, aku berkata, “Wahai fulanah, sesungguhnya menurut sunnah apabila seorang wanita masuk menemui suaminya hendaklah si suami shalat dua rakaat dan si istri juga shalat dua rakaat.”


Akupun bangkit mengerjakan shalat kemudian aku menoleh ke belakang ternyata ia ikut shalat di belakangku. Seusai shalat para budak-budak wanita pengiringnya datang dan mengambil pakaianku dan memakaikan padaku pakaian tidur yang telah dicelup dengan za’faran.


Dan tatkala rumah sudah kosong, aku mendekatinya dan aku
ulurkan tanganku kepadanya. Ia berkata, “Tahan dulu (sabar dulu).”


Aku berkata dalam hati, “Satu malapetaka telah menimpa diriku.” (yakni musibah telah menimpa dirinya)


Lalu ia memuji Allah kemudian memanjatkan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku adalah seorang wanita Arab. Demi Allah, aku tidak pernah melangkah kecuali kepada perkara yang diridhai Allah. Dan engkau adalah lelaki asing, aku tidak mengenali perilakumu (yakni aku belum mengenal tabiatmu).


Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka hingga aku akan melakukannya dan apa saja yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”


Aku berkata kepadanya, “Aku suka begini dan begini (Syuraih menyebutkan satu persatu perkataan, perbuatan, makanan dan segala sesuatu yang disukainya) dan aku benci begini dan begini (Syuraih menyebutkan semua perkara yang ia benci).”


Ia berkata lagi, “Beritahukan kepadaku siapa saja anggota keluargaku yang engkau suka bila ia mengunjungimu?”


Aku (Syuraih) berkata, “Aku adalah seorang qadhi, aku tidak suka mereka (anggota keluargamu) membuatku bosan.”


Maka akupun melewati malam yang paling indah, dan aku tidur tiga malam bersamanya. Kemudian aku keluar menuju majelis qadha’, dan aku tidak melewati satu hari melainkan hari itu lebih baik daripada hari sebelumnya.


Tibalah waktu kunjungan mertua.


Yaitu genap satu tahun (setelah berumah tangga).


Aku masuk ke dalam rumahku. Aku dapati seorang wanita tua sedang menyuruh dan melarang.


Aku bertanya, “Hai Zainab, siapakah wanita ini?”


Istriku menjawab, “Ia adalah ibuku.”


“Marhaban”, sahutku.


Ia (ibu mertua) berkata, “Bagaimana keadaanmu hai Abu Umayyah?”


“Alhamdulillah baik-baik saja”, jawabku.


“Bagaimana keadaan istrimu?” Tanyanya.


Aku menjawab, “Istri yang paling baik dan teman yang paling cocok. Ia mendidik dengan baik dan membimbing adab dengan baik pula.”


Ia berkata, “Sesungguhnya seorang wanita tidak akan terlihat dalam kondisi yang paling buruk tabiatnya kecuali pada dua keadaan: Apabila sudah punya kedudukan di sisi suaminya dan apabila telah melahirkan anak. Apabila engkau melihat sesuatu yang tak mengenakkan padanya pukul saja. Karena, tidaklah kaum lelaki memperoleh sesuatu yang lebih buruk dalam rumahnya selain wanita warhaa’ (yaitu wanita yang tidak punya kepandaian dalam melakukan tugasnya).


Syuraih berkata, “Ibu mertuaku datang setiap tahun sekali kemudian ia pergi sesudah bertanya kepadaku tentang apa yang engkau sukai dari kunjungan keluarga istrimu ke rumahmu?”


Aku menjawab pertanyaannya, “Sekehendak mereka!” Yaitu sesuka
mereka saja.


Aku hidup bersamanya selama dua puluh tahun, aku tidak pernah sekalipun mencelanya dan aku tidak pernah marah terhadapnya.”

sebelas nasehat tuk wanita


Aku hadiahkan sebelas ( 11 ) nasehat yang berharga ini kepada diriku sendiri dan kepadamu, wahai Ukhti Muslimah. Kerjakanlah, Insya Allah kamu akan berbahagia di dunia dan di akhirat, minta tolonglah kepada Allah SWT dalam mengamalkannya, kemudian dengan membaca dan memahami.

1. Beribadahlah kepada Allah semata, sesuai dengan apa yang telah di isyaratkan, berupa ibadah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits.

2. Hati-hatilah terhadap syirik dalam aqidah dan ibadah, sebab syirik menggugurkan amal dan menyebabkan kerugian.

3. Hati-hatilah terhadap bid'ah, baik dalam aqidah maupun dalam ibadah, sebab setiap bid'ah bisa menjadi sesat dan orang-orang yang sesat adalah di dalam neraka (tempatnya).

4. Jagalah sholatmu dengan sempurna, sebab orang yang selalu menjaga sholatnya, ia akan lebih menjaga dalam hal lainnya, dan orang yang meremehkan sholatnya akan meremehkan hal lainnya juga. Jagalah kesucian, thuma'ninah dan i'tidal serta khusyu' dalam sholat tersebut, jangan sampai kamu mengakhiri waktunya, sebab seorang hamba bila sholatnya baik, maka seluruh amal perbuatannya baik, sebaliknya bila sholatnya rusak (tidak baik), maka amal perbuatannya juga rusak (tidak baik).

5. Taatilah suamimu jika kamu sudah berumah tangga, jangan sekali-kali kamu menolak keinginannya, dan melanggar perintahnya, selama tidak menyuruh dalam maksiat dan dosa.

6. Jagalah suamimu jika dia ghoib (tidak ada) darimu dan ketika ia berada disisimu. Jagalah dirimu dan hartanya.

7. Berbuat baiklah kepada tetanggamu dengan perkataan dan perbuatan sebagai balas budi dan menolak keburukan.

8. Tinggallah (menetaplah) di rumahmu, jangan keluar kecuali dalam keadaan darurat dan menutup aurat (berjilbab).

9. Berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu dengan perkataan dan perbuatan selama mereka menyuruhmu dalam kebaikan, jika mereka menyuruhmu dalam maksiat maka tidak boleh taat kepadanya, sebab tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.

10. Curahkan perhatianmu terhadap pendidikan anakmu jika kamu sudah mempunyai anak, dengan membiasakan mereka jujur, bersih, benar dalam perkataan dan perbuatan, serta dengan mengajarkan kepada mereka adab yang mulia dan akhlaq yang terpuji. Suruhlah mereka sholat lima waktu bila sudah berusia 7 tahun, dan bila mereka meninggalkannya pada usia 10 tahun, maka pukullah mereka dg pukulan yg tidak menyakitkan serta pisahkan tempat tidurnya (antara laki-laki dan perempuan).

11. Perbanyaklah dzikir dan sedekah atau infaq, meskipun engkau sedang kesulitan dan ketika rejekimu melimpah. Karena sungguh sedekah skecil apapun dapat meredam murka Allah.
-------------------------------------------------

Ada sebuah kabar gembira dari Baginda Nabi Muhammad Saw kepada seluruh wanita muslim didunia, : " Wanita2 yg mendirikan sholat, berpuasa dibulan ramadhan, dan taat pada suaminya, maka masuklah ke surgaKU dari pintu mana saja yg dia suka ".( HR.Ahmad dan Thabrani )

Subhanallah..jika kita ada niat yg kuat, bukankah hal itu sangat mudah? Menjaga sholat 5 waktu, berpuasa ramadhan, dan taat pada suami !

Semoga Allah SWT menjagamu dari setiap kejahatan dan menganugerahkan kepada kita Qusnul khotimah. Jangan pernah sekali-sekali kamu mati kecuali dalam beragama Islam !

Dan segala puji bagi Allah pada awal dan akhir, serta sholawat dan berkah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya sampai hari kiamat tiba.

Jumat, 11 Februari 2011

Larangan Wanita Pergi Tanpa Mahram


Penulis: ‘Adi Abdillah As Salafy

Saudariku Muslimah … Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
...
“Apa yang dikatakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya, jauhilah. Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan.

Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk taat kepadaku (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan apa yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”

Pengertian ayat di atas bersifat umum yakni mencakup semua perintah dan larangan, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidaklah memerintahkan kecuali membawa kebaikan dan tidaklah melarangnya kecuali mengandung kerusakan (kebinasaan). (Lihat Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said halaman 7)

Maka dalam rangka mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya, kami akan berusaha menukil beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan keterangan ulama yang berkaitan dengan judul di atas.

Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan agamanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Janganlah wanita melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad 3/7, dan Abu Dawud 1727)

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)

Komentar Ulama Dalam Masalah Safar Bagi Wanita

Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat Al ‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan “selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.

Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan ucapan beliau : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh. Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)

Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita tidak mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.

Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20)

Yang lainnya menambahkan : “Atau wanita yang tertinggal dari rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahram yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi menemaninya hingga ia mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)

Mahram Bagi Wanita

Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan : “Mahram bagi wanita adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak (selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman 68)

Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

Kenapa Disyaratkan Dengan Mahram

Islam yang hanif ingin menjaga wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.

Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.

Safar Dalam Rangka Menunaikan Ibadah Haji

Jika Anda bertanya : “Apakah dibolehkan bagi wanita melakukan safar dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram?”

Imam At Tirmidzi rahimahullah tekah meringkas sebuah jawaban untuk pertanyaan di atas. Beliau mengatakan bahwa Ahlul ‘Ilmi (ulama) masih memperbincangkan permasalahan ini, sebagian dari mereka berkata : [ Tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji karena mahram merupakan persyaratan perjalanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“… bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan kepadanya … .”

Mereka mengatakan bila wanita tersebut tidak memiliki mahram berarti ia belum sanggup melakukan perjalanan kepadanya. Ini adalah ucapan Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan sebagian Ahlul Ilmi yang lainnya mengatakan : “Bila perjalanan menuju haji dijamin aman, maka ia boleh keluar menunaikan ibadah haji bersama manusia yang lain.” Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Imam Syafi’i. ]

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi setelah membawakan secara panjang lebar dalil-dalil dari kedua pihak (yang membolehkan dan yang tidak membolehkan) mengatakan : “Setelah melihat dalil-dalil yang ada, tampak padaku bahwa dalil dari mereka yang menyatakan tidak bolehnya adalah lebih kuat karena larangan bagi wanita melakukan safar tanpa mahram adalah bersifat umum tadi, dengan demikian ia termasuk dalam larangan yang umum ini, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda : ‘Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’ Wallahu A’lam.”

Fatwa-Fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan fatwa berkaitan dengan hajinya seorang wanita tanpa mahram. Berikut ini jawaban beliau dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan :

1. Sebagian wanita pergi melaksanakan umrah tanpa mahram dan kadang-kadang bersama mereka seorang pembantu laki-laki dan pembantu wanita serta sopir. Kami mengharapkan kejelasan perkara tentang safar guna pelaksanaan umrah dan i’tikaf bagi seorang wanita yang tidak disertai mahram. Apakah boleh untuk menjadikan sebagian mereka sebagai mahram pada sebagiannya?

Beliau menjawab : [ Tidak boleh bagi wanita untuk safar tanpa mahram, baik untuk umrah maupun yang lainnya. Karena telah tsabit dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :

Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak boleh seorang laki-laki ber-khalwat dengan wanita lain dan tidak boleh bagi wanita untuk safar kecuali bersama mahramnya.”

Seorang wanita haram pergi sendirian dengan pengemudinya, walaupun masih dalam batasan negerinya. Karena pengemudi itu telah ber-khalwat dengannya dan tidak ada perbedaan antara keadaannya wanita tersebut ketika berkumpul atau tidak berkumpul. Dan sungguh telah datang hadits bahwa seseorang berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku ingin keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka beliau bersabda : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (Dikeluarkan oleh Bukhari, bab Jihad, Fathul Bari 6/142-143) ]

2. Apakah boleh bagi wanita untuk safar dengan naik kapal terbang dengan keadaan aman tapi tanpa mahram?

Beliau menjawab : [ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak boleh safar bagi wanita kecuali bersama mahram.”

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan hadits tersebut ketika memberikan khutbah di atas mimbar dalam pelaksanaan ibadah haji. Maka berdirilah seseorang dan berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka jawab Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan padanya untuk meningalkan perang dan melaksanakan haji bersama istrinya dan tidaklah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata :

“Apakah istrimu dalam keadaan aman?”

Atau : “Apakah bersamanya ada wanita lain?”

Atau : “Bersama tetangganya?”

Maka ini menunjukkan keumuman larangan safar bagi wanita tanpa disertai mahram. ]

Wanita Keluar Menuju Pasar

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hafidhahullah pernah ditanya : “Bolehkah seorang wanita keluar menuju pasar tanpa disertai mahramnya dan kapankah yang demikian itu dibolehkan serta kapankah diharamkannya?”

Beliau menjawab : [ Pada dasarnya, keluarnya wanita menuju pasar adalah boleh dan tidak disyaratkan bahwa ia harus disertai mahram kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah. Dalam keadaan demikian ia tidak diperkenankan keluar kecuali jika disertai mahram yang menjaga dan melindunginya. Hukum bolehnya ia keluar menuju pasar adalah diiringi dengan sebuah syarat yang harus ia penuhi yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak wangi (parfum) karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah melarangnya. ]

Kebolehan wanita keluar ke pasar tak luput diikat dengan syarat-syarat yang ketat, di antaranya hendaklah wanita itu keluar karena kebutuhan yang mendesak, hendaklah menggunakan hijab yang sempurna menurut syariat dan tidak ber-tabarruj, tanpa berhias dan tanpa berminyak wangi.

Wanita Berduaan Bersama Sopir Jika Bepergian, Bolehkah ?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang hukum wanita berkendaraan seorang diri hanya ditemani sopir yang membawanya ke tengah kota (belum keluar dalam batas safar). Beliau menjawab : [ Tidak boleh seorang wanita berkendaraan hanya dengan seorang sopir tanpa disertai orang lain yang bersamanya karena yang demikian ini termasuk dalam hukum ber-khalwat (berduaan), padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

“Janganlah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.”

“Janganlah berduaan seorang pria dengan seorang wanita karena syaithan menjadi pihak ketiga dari keduanya.”

Adapun jika ada orang lain beserta keduanya baik seorang ataupun lebih, baik pria ataupun wanita, maka ini tidak mengapa baginya, bila di sana tidak ada sesuatu yang meragukan, karena keadaan khalwat (berduaan) akan hilang dengan sendirinya dengan hadirnya orang yang ketiga atau lebih. Ini dibolehkan selama belum masuk dalam batas safar. Adapun di dalam safar maka tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bila disertai mahramnya sebagaimana telah warid dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ]

Penutup

Saudariku Muslimah …….. .

Wanita keluar rumah tanpa mahram dan tanpa ada kebutuhan yang syar’i merupakan dosa baginya. Lebih baik dan lebih suci bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya agar kaum laki-laki tidak melihatnya dan wanita itupun tidak melihat padanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) di rumah-rumah kalian.”

Tidaklah ada perkara yang lebih mendekatkan diri wanita dengan Rabb-nya melebihi bila ia tetap tinggal di rumah dan berusaha menjadi wanita yang diridhai-Nya dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya dan taat kepada suaminya.

Ali radhiallahu ‘anhu pernah berkata :

“Apakah kamu tidak malu … dan apakah kamu tidak tertipu … , kamu membiarkan wanita keluar di antara kaum laki-laki untuk melihat padanya dan mereka pun (kaum laki-laki) melihat pada kaum wanita tersebut.” (Lihat Al Kabair, Adz Dzahabi halaman 171-172)

Al Iffah (harga diri), rasa malu, dan kelembutan adalah sesuatu yang bernilai tinggi, nilainya tidak dapat ditakar dengan harga dunia beserta seluruh isinya dan ini merupakan kekhususan bagi wanita Muslimah yang tak dimiliki oleh wanita lain. Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melalui syariat yang agung menetapkan aturan-aturahn yang dapat mempertahankan eksistensi dari kekhususan ini dan semuanya itu diletakkan dengan hikmah yang tinggi.

Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memperlihatkan kepada kita al haq dan membimbing kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita al bathil dan membimbing kita untuk menjauhinya. Ya Allah, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus. Amin !!!

Kamis, 10 Februari 2011

ku ingin menjadi AKHWAT. bukan hanya muslimah, apalagi cewek



Di Indonesia arti kata Akhwat memang menjadi menyempit, dan tidak semua muslimah disebut Akhwat. Hanya muslimah tertentu saja. Silahkan renungi tulisan di bawah ini :

Akhwat sejati tidak dilihat dari jilbabnya yang anggun, tetapi dilihat dari kedewasaannya dalam bersikap.

Akhwat sejati tidak dilihat dari retorikanya ketika aksi, tetapi dilihat dari kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan.

Akhwat sejati tidak dilihat dari banyaknya ia berorganisasi, tetapi sebesar apa tanggungjawabnya dalam menjalankan amanah.

Akhwat sejati tidak dilihat dari kehadirannya dalam syuro', tetapi dilihat dari kontribusinya dalam mencari solusi dari suatu permasalahan.

Akhwat sejati tidak dilihat dari tasnya yang selalu membawa Al - Qur'an, tetapi dilihat dari hafalan dan pemahamannya akan kandungan Al - Qur'an tersebut.

Akhwat sejati tidak dilihat dari aktivitasnya yang seabrek, tetapi bagaimana ia mampu mengoptimalisasi waktu dengan baik.

Akhwat sejati tidak dilihat dari IP-nya yang cumlaude, tetapi bagaimana ia mengajarkan ilmunya pada umat.

Akhwat sejati tidak dilihat dari tundukan matanya ketika interaksi, tetapi bagaimana ia mampu membentengi hati

Akhwat sejati tidak dilihat dari partisipasinya dalam menjalankan kegiatan, tetapi dilihat dari keikhlasannya dalam bekerja.

Akhwat sejati tidak dilihat dari sholatnya yang lama, tetapi dilihat dari kedekatannya pada Robb di luar aktivitas sholatnya.

Akhwat sejati tidak dilihat kasih sayangnya pada orang tua dan teman - teman, tetapi dilihat dari besarnya kekuatan cinta pada Ar-Rahman Ar-Rahiim

Akhwat sejati tidak dilihat dari rutinitas dhuha dan tahajjudnya, tetapi sebanyak apa tetesan air mata penyesalan yang jatuh ketika sujud

Seorang akhwat sejati bukanlah dilihat dari kecantikan paras wajahnya, tetapi dilihat dari kecantikan hati yang ada di baliknya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari bentuk tubuhnya yang memesona, tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari begitu banyaknya kebaikan yang ia berikan, tetapi dari keikhlasan ia memberikan kebaikan itu.

Akhwat sejati bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.
Akhwat sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara.

Akhwat sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang di jalan tetapi dilihat dari Kekhawatiran dirinyalah yang mengundang orang jadi tergoda.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa syukur.

Dan ingatlah ... Akhwat sejati bukan dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauhmana ia bisa menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul.

Senin, 07 Februari 2011

Wanita Penghuni Surga Lebih Cantik Dari Bidadari Surga

Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku,
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Ya”

Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’

Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’
"Maka Nabi pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa rindunya hati ini kepada surga-Nya yang begitu indah. Yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa besarnya harapan ini untuk menjadi salah satu penghuni surga-Nya. Dan subhanallah! Ada seorang wanita yang berhasil meraih kedudukan mulia tersebut. Bahkan ia dipersaksikan sebagai salah seorang penghuni surga di kala nafasnya masih dihembuskan. Sedangkan jantungnya masih berdetak. Kakinya pun masih menapak di permukaan bumi.

Wahai saudariku, tidakkah engkau iri dengan kedudukan mulia yang berhasil diraih wanita itu? Dan tidakkah engkau ingin tahu, apakah gerangan amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga.......????????
Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam????
Tidak." dia adalah wanita yang berkulit hitam ".

Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia dihadapan Allah dan Rasul-nya. Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperlihatkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya.
Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, amalan-amalan shalihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia pun akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.

Bagaimanakah dengan wanita zaman sekarang yang sibuk memakai kosmetik ini-itu demi mendapatkan kulit yang putih tetapi enggan memutihkan hatinya? Mereka begitu khawatir akan segala hal yang bisa merusak kecantikkannya, tetapi tak khawatir bila iman dan hatinya yang bersih ternoda oleh noda-noda hitam kemaksiatan – semoga Allah Memberi mereka petunjuk -.

Kecantikan fisik bukanlah segalanya. Betapa banyak kecantikan fisik yang justru mengantarkan pemiliknya pada kemudahan dalam bermaksiat. Maka saudariku, seperti apapun rupamu, seperti apapun fisikmu, janganlah engkau merasa rendah diri. Syukurilah sebagai nikmat Allah yang sangat berharga. Cantikkanlah imanmu. Cantikkanlah hati dan akhlakmu...

Wanita itu berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.”
Subhanallah. Ia adalah seorang wanita yang sangat khawatir bila auratnya tersingkap. Ia tahu betul akan kewajiban seorang wanita menutup auratnya dan ia berusaha melaksanakannya meski dalam keadaan sakit. Inilah salah satu ciri wanita shalihah, calon penghuni surga. Yaitu mempunyai sifat malu dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup auratnya. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang di saat sehat pun dengan rela hati membuka auratnya???
Saudariku, dalam hadits di atas terdapat pula dalil atas keutamaan sabar. Dan kesabaran merupakan salah satu sebab seseorang masuk ke dalam surga...
Sesungguhnya wanita-wanita surga memiliki keutamaan yang sedemikian besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”

Beliau shallallahu’‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”

Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.” (HR. Ath Thabrani)

Subhanallah. Betapa indahnya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah perkataan yang seharusnya membuat kita, wanita dunia, menjadi lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menjadi wanita shalihah. Berusaha untuk menjadi sebaik-baik perhiasan. Berusaha dengan lebih keras untuk bisa menjadi wanita penghuni surga

Kamis, 03 Februari 2011

Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita. ^_^

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.